Suatu malam di bulan Januari, seorang lelaki berbadan tegap dengan wajah yang tegas sedang menikmati secangkir kopi di salah satu café metropolitan. Ia menyeruput kopinya sembari menatap jendela café yang transparan, di tatapnya jalanan kota yang tengah turun hujan rintik-rintik. Dinginnya malam bercampur dengan nyanyian tetes air hujan beradu menjadi melodi lagu hingga ia melihat sebuah pemandangan yang menurutnya menarik. Itulah sang gadis pengemis kecil, gadis itu berjalan melintasi trotoar café sambil membawa gelas plastik kecil di tangannya. Wajahnya kusam dengan hitam rambutnya dipadukan dengan baju kumal kuning pucat dan ia berjalan tanpa alas kaki.
Kemudian sang lelaki
berbadan tegap itu mengetuk jendela café tatkala sang gadis itu lewat di depan
pandangannya. Dia memberi kode lambaian jari kepada gadis itu dengan
menggunakan tangannya untuk mengajak masuk ke dalam café yang hangat. Sang
gadis merespon dengan anggukan kecil, kemudian ia berjalan menuju pintu café
untuk menemui sang lelaki tersebut. Dipandangnya gadis itu oleh sang lelaki
dari ujung rambut hingga ujung kakinya yang nampak kotor dan tak beralas.
Sesaat kemudian sang
lelaki menawarkannya duduk dan memanggil pelayan café untuk memesan makanan.
Saat lelaki itu bertanya kepada gadis kecil ingin makan apa, ia menjawab dengan
malu-malu kalau ia ingin sepotong roti dan air putih. Kemudian sang pelayan
café pun menulis pesanannya dan kembali ke pekerjaannya menyisakan sang lelaki
dan sang gadis kecil. Sang gadis kecil tiba-tiba membuka bibirnya dan terucap
kata terima kasih. Sang lelaki hanya diam sembari mengangguk kecil tanda ia
menerima ucapan terima kasihnya. Sekitar lima menit berlalu pesanan gadis kecil
telah diantar oleh pelayan café dan sang gadis kecil pun langsung melahap
makanannya. Sang lelaki tegap berwajah tegas itu tersenyum memandang gadis
kecil yang lusuh di depannya sembari makan dengan lahap, nampak sekali jika ia
sedang lapar.
Saat makanan sang gadis
kecil habis sang lelaki mengajaknya untuk mengobrol dengannya. Ia bertannya
“apakah kamu tahu nak tentang pahit yang dapat dinikmati?”. Kemudian sang gadis
kecil menjawab “tidak tahu om, mungkin permen pahit” jawabnya dengan sangat
polos. Sang lelaki tertawa kecil melihat kepolosan jawaban dari anak kecil,
kemudian ia berkata “kamu tahu nak kopi ini rasanya pahit , tetapi tetap saya
minum sedikit demi sedikit”. Kemudian sang gadis kecil pun bertanya kepada sang
lelaki “kenapa diminum kalo itu pahit?”. Terjadi jeda yang cukup lama diantara
mereka kemudian sang lelaki kembali berucap,“layaknya saat kamu berjalan di
tengah rintik hujan dan dinginnya malam, hal itu terasa pahit atau tidak enak
untuk dilakukan namun kamu tetap menjalaninya. kenapa?”. Sang gadis kecil
tersebut menjawab, “untuk mengemis om dan uangnya untuk membeli obat ibu”. Sang
lelaki kemudian melanjutkan perkataannya “ kepahitan hidup memang layaknya
menikmati secangkir kopi, kita menikmatinya dengan perlahan kemudian lagi, dan
lagi hingga kopinya habis. Seperti yang kamu alami nak pahit ini tidak akan
selamanya kamu jalani suatu saat nanti akan hadir kemanisan”. Kemudian sang
gadis kecil pun menganngguk kecil dan tersenyum tanda ia mengerti.