Asal Usul Orang (Suku) Sunda Adalah Suku Pendatang Aria ?
Pengantar Redaksi:
“Ada beberapa teori tentang dari mana
asal orang-orang Nusantara datang? Dari Yunan China Selatan?, Atau Dari
Persia, Iran Utara? Atau yang dari utara ini cuma arus balik mudik
pulang kampung warga Sundaland ke tanah airnya yang sejati Puluhan ribu
tahun yang lalu (antara 200.000 sd 75.000 tahun yang lalu sebelum
Ledakan Supervulcano Gunung Toba dan Karakatau) ?? Hi[potesi di bawah
ini, mirip dengan argumen hipotetis yang dikemukankan oleh salah seorang
peneliti Melayu dari Malaysia, Al-Semantani.” (Ahmad Y. Samantho)
Fakta sejarah ?
Asal Usul Orang (Suku) Sunda Adalah Suku Pendatang
Banyak pakar yang menyatakan bahwa orang Sunda khususnya dan
Indonesia umumnya adalah para pendatang dari daerah Yunan. benarkah itu ?
(Ada sebuah fakta yang dapat dianggap dongeng tapi perlu kita cermati
dengan seksama).
Di daratan Asia, kira-kira antara Pegunungan Hindukusj dan Pegunungan
Himalaya ada sebuah dataran tinggi (plateau) yang bernama Iran-venj,
penduduknya disebut bangsa Aria. Mereka menganggap bahwa tanah airnya
disebut sebagai Taman Surga, karena kedekatannya dengan alam gaib.
Namun, mereka mendapat wangsit dalam Uganya, bahwa suatu ketika bangsa
Iran Venj akan hancur, sehingga bangsa Aria ini menyebar ke berbagai
daerah. Salah satu gerombolan bangsa Aria yang dikepalai oleh warga
Achaemenide menyebut dirinya sebagai bangsa Parsa dan pada akhirnya
disebut bangsa Persi dan membangun kota Persi-Polis. Pemimpin
Achaemenide bergelar Kurush (orang Yunani menyebut Cyrus).
Dalam perjalanan sejarahnya, mereka membantu bangsa Media yang diserang
oleh bangsa Darius. Bahkan bangsa Darius dengan pimpinan Alexander
Macedonia pun pada akhirnya menyerang Persi. Dan tak lepas dari itu
bangsa Persi, pada jaman Islam pun diserang dan ditaklukkan. Begitu pula
oleh Jengis Khan dari Mongol, dan pada akhirnya diserang pula oleh
bangsa Tartar yang dikepalai oleh Timur-Leng. Rentang perjalanan sejarah
bangsa Persi ini, menyadarkan mereka untuk kembali kepada nama asalnya,
yaitu Iran (dari Iran-Venj).
Segerombolan suku bangsa Aria yang menuju arah Selatan, sampailah di
tanah Sunda, tepatnya di Pelabuhanratu (sekarang). آ Para pendatang itu
disambut dengan ramah dan terjadi akulturasi budaya di antara mereka,
pendatang dan pribumi (Sunda) saling menghormati satu sama lainnya.
Proses akulturasi budaya ini dapat kita lihat dalam sistem religi yang
diterapkan, Pendatang mengalah dengan keadaan dan situasi serta tatanan
yang ada. Batara Tunggal atau Hyang Batara sebagai pusat “sesembahan”
orang Sunda tetap menempati tempat yang paling tinggi, sedangkan
dewa-dewa yang menjadi â€کsesembahan’ pendatang ditempatkan di
bawahnya.
Hal itu dapat dilihat dalam stratifikasi sistem “sesembahan” yang ada
di daerah Baduy, dikatakan bahwa Batara Tunggal atau Sang Rama
mempunyai tujuh putra keresa, lima dewa di antaranya adalah Hindu, yaitu
: Batara Guru di Jampang, Batara Iswara (Siwa), Batara Wisnu, Batara
Brahma, Batara Kala, Batara Mahadewa (pada akhirnya menjadi Guriang
Sakti serta menjelma jadi Sang Manarah atau Ciung Manara), Batara
Patanjala (yang dianggap cikal bakal Sunda Baduy). Akulturasi ini, tidak
saja dalam lingkup budaya, melainkan dalam perkawinan.
Nun jauh di sana, di Fasifik sana, Bangsa Mauri dilihat secara
tipologinya, mereka berkulit kuning (sawo matang), Postur tubuh hampir
sama dengan orang Sunda. Nama-nama atau istilah-istilah yang
dipergunakan, seperti Dr. Winata (kurang lebih tahun 60-an menjadi
kepala Musium di Auckland). Nama ini tidak dibaca Winetou atau winoto
tapi Winata . Beliaulah yang memberikan Asumsi dan teori bahwa orang
Mauri berasal dari Pelabuhanratu. Hal yang lebih aneh lagi adalah di
Selandia Baru tidak terdapat binatang buas, apalagi dengan harimau
â€کmaung’, tapi â€کsima’ maung dipergunakan sebagai lambang agar
musuh-musuh mereka merasa takut.
Memang tidak banyak yang menerangkan bahwa orangIndonesia (Sunda)
yang datang ke pulau ini, kecuali tersirat dalam Encyclopedia Americana
Vol 22 Hal 335. Bangsa kita selain membawa suatu tatanan â€کtata –
subita’ yang lebih tinggi, kebiasaan gotong royong, teknik menenun,
juga membawa budaya tulis menulis yang kemudian menjadi “Kohao
Rongo-rongo†fungsinya sebagai â€کmnemo-teknik’ (jembatan keledai)
untuk mengingat agar tidak ada bait yang terlewat.
Benarkah Parahiangan sebagai Pusat Dunia yang Hilang (Atlantis) ?
Untuk memudahkan menjawab pertanyaan di atas, mari kita buktikan
dengan benda-benda hasil karya mereka. Salah satunya adalah
Trappenpyramide, yaitu limas bertangga).
Di Jawa Barat (Tatar Sunda), Limas bertangga ini dahulu berfungsi
sebagai tempat peribadatan begitu pula bagi orang Pangawinan (Baduy) dan
bagi orang Karawang yang masih memegang teguh dalam adat tatali karuhun
tidak boleh membangun rumah suhunan lilimasan. Bagi orang Jawa Tengah,
menurut Dr. H.J De Graaf â€کhunnebedden’ dengan adanya candi-candi
Hindu yang sudah sangat kental percampurannya, sehingga tidak lagi
terlihat jati diri Jawa Tengahnya. Sedangkan candi-candi di Jawa Timur
bentuk-bentuknya masih kentara keasliannya, karena tempelan budaya luar
hanya sebagai aksesoris saja. Yang lebih jelas lagi di Bali, karena
keasliannya sangat kentara.
Kembali ke daerah Polynesia, bangunan-bangunan purba
â€کtrappenpyramide’ tersebar di pulau Paska hingga ke Amerika Selatan
yaitu di Peru. Apa ada hubungannya dengan Sunda ?
Salah satu ekspedisi Kontiki – Dr. Heyerdahl, membuktikan dan
memunculkan teorinya bahwa hal tersebut di atas merupakan hasil
kebudayaan dari manusia putih berkulit merah (sawo matang). Walaupun
teori ini banyak dibantah para ahli lainnya, namun dapat kita tarik satu
asumsi bahwa manusia putih berkulit merah ini adalah manusia Atlantis
yang hilang oleh daya magi.
Pembuktian ekspedisi Kontiki – Dr. Heyerdahl sekarang lebih terungkap
itu ada benarnya. Sehingga bila melihat sejarah bahwa keturunan dari
Tatar Sunda menyebrang hingga ke Polynesia itu adalah orang-orang
Atlantis — yang memang karuhun kita selalu menyembunyikan dalam bentuk
simbol — ekspansi kebudayaan dari Tatar Sunda ke daerah Polynesia, yaitu
dengan adanya rombongan dari Palabuhanratu, dapat dibuktikan
kebenaran-nya.
Seperti uraian benarkah orang Sunda pendatang atau benarkah
Parahiangan pusat Atlantis ? Di sini, silahkan sidang pembaca untuk
menilai lebih jeli kebenaran yang ada, karena benar adalah benar ia
harus absolut tidak relatif.
A. Mencari Sejarah Sunda dengan Dua Perahu
SUDAH sejak tahun 1950-an orang Sunda
gelisah dengan sejarahnya. Lebih-lebih generasi sekarang, mereka selalu
mempertanyakan, betulkah sejarah Sunda seperti yang diceritakan
orang-orang tua mereka? Katanya, kekuasaannya membentang sejak Kali
Cipamali di timur terus ke barat pada daerah yang disebut sekarang Jawa
Barat dengan Prabu Siliwangi sebagai salah seorang rajanya yang
bijaksana. Betulkah? Sejarah Sunda memang tidak banyak berbicara dalam
percaturan sejarah nasional. “Yang diajarkan di sekolah, paling hanya
tiga kalimat,” kata Dr Edi Sukardi Ekadjati, peneliti, sejarawan dan
Kepala Museum Asia Afrika di Bandung. Isinya singkat saja hanya
mengungkap tentang Kerajaan Sunda dengan Raja Sri Baduga di daerah yang
sekarang disebut Jawa Barat, lalu runtuh.
Padahal, kerajaan dengan corak animistis
dan hinduistis ini sudah berdiri sejak abad ke-8 Masehi dan berakhir
eksistensinya menjelang abad ke-16 Masehi. Kisah-kisahnya yang begitu
panjang, lebih banyak diketahui melalui cerita lisan sehingga sulit
ditelusuri jejak sejarahnya. Tetapi ini tidak berarti, nenek moyang
orang Sunda di masa lalu tidak meninggalkan sesuatu yang bisa dilacak
oleh anak cucunya karena kecakapan tulis-menulis di wilayah Sunda sudah
diketahui sejak abad ke-5 Masehi. Ini bisa dibuktikan dengan
prasasti-prasasti di masa itu.
Memang peninggalan karya tulis berupa
naskah di masa itu hingga kini belum dijumpai. Tetapi setelah itu
ditemukan naskah kuno dalam bahasa dan huruf Sunda Kuno, yakni naskah
Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang selesai disusun tahun 1518 M dan
naskah Carita Bujangga Manik yang dibuat akhir abad ke-15 atau awal abad
ke-16. Suhamir, arsitek yang menaruh minat besar dalam sejarah Sunda
menjuluki naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian sebagai “Ensiklopedi
Sunda”.
Naskah-naskah lainnya adalah Cariosan
Prabu Siliwangi (abad ke-17 atau awal abad ke-18), Ratu Pakuan, Wawacan
Sajarah Galuh, Babad Pakuan, Carita Waruga Guru, Babad Siliwangi dan
lainnya.
NASKAH Sanghyang Siksa Kana Ng Karesian
dan Carita Bujangga Manik disusun pada zaman Kerajaan Sunda-Pajajaran
masih ada dan berkembang. Karena itu, dilihat dari kacamata sejarah,
kedua naskah tersebut bisa jadi sumber primer. Sedangkan naskah-naskah
lainnya yang disusun setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh termasuk
sumber sekunder. Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh pada tahun 1579.
Kedua naskah tersebut ditulis dengan
bahasa dan huruf Sunda Kuno. Sedangkan naskah lainnya ada yang ditulis
dengan bahasa dan huruf Jawa, bahasa dan huruf Arab, bahasa Jawa-Sunda
atau huruf Jawa tapi bahasanya bahasa Sunda seperti naskah Carita Waruga
Guru dan bahasa Melayu dan huruf Latin. Sampai tahun 1980-an, pembuatan
naskah Sunda masih terus berlangsung meskipun dalam bentuk penyalinan.
Naskah Siksa Kanda Ng Karesian dan Carita
Bujangga Manik ditulis di atas daun lontar dan daun palem.
Naskah-naskah lainnya ada pula yang ditulis di daun nipah, daun enau
atau daun kelapa. Cara menulisnya dikerat/digores dengan menggunakan
alat yang disebut peso pagot, sejenis pisau yang ujungnya runcing.
Sedangkan naskah-naskah yang lebih muda menggunakan kertas sebagai
pengganti daun dan ditulis dengan menggunakan tinta.
Sebagian naskah-naskah itu ada yang
tersimpan di museum baik di dalam maupun di luar negeri. Tetapi sebagian
besar lainnya disimpan di rumah penduduk atau tempat-tempat tertentu
yang dikeramatkan karena naskah dianggap sebagai barang sakral.
Pemegangnya juga orang tertentu saja.
Karena cara penyimpanan yang tidak
memenuhi syarat, adakalanya naskah rusak berat sehingga tidak bisa
terbaca lagi. Naskah di Lengkong, Kuningan misalnya, tahun 1982 masih
bisa dibaca. “Tetapi ketika saya datang lagi ke sana pada tahun 1987,
naskah sudah tidak bisa direkontruksi lagi,” keluh Ekadjati.
Tetapi ada juga naskah-naskah yang sudah
tidak disimpan dengan baik karena ahli warisnya merasa tidak mempunyai
kepentingan lagi. Di Banjaran, sebuah daerah yang letaknya di Bandung
Selatan, naskah yang mereka miliki disimpan di kandang ayam karena rumah
sedang dibongkar. Atau ada pula yang menyimpannya di atas langit-langit
dapur, sehingga warnanya menjadi kuning kehitam-hitaman.
Dengan cara penyimpanan seperti itu,
apalagi berasal dari bahan-bahan yang mudah lapuk, dalam beberapa tahun
saja tidak mustahil naskah-naskah tersebut tidak akan berbekas lagi,
sebelum diteliti. Setelah terlambat, baru kemudian kita menyadari telah
kehilangan sejarah atau kekayaan budaya…
Sebelum pengalaman pahit ini terjadi, Edi
S Ekadjati dengan bantuan Toyota Foundation kemudian mengabadikannya
dalam bentuk mikro film. Sekarang, sekitar 2000 naskah dari mikro film
tersebut dimasukkan ke komputer sehingga suatu saat, bisa dibuat katalog
yang lebih lengkap. Ini melengkapi katalog naskah Sunda yang sudah ada
sekarang, yang memuat 1904 naskah.
DARI sejumlah naskah tersebut, 95 naskah
ditulis dalam huruf Sunda Kuno, 438 ditulis dalam huruf Sunda-Jawa,
1.060 ditulis dengan huruf Arab (Pegon) dan 311 naskah lainnya ditulis
dengan huruf Latin. Selain itu masih ada 144 naskah yang menggunakan dua
macam aksara atau lebih, yakni Sunda-Jawa, Arab dan Latin.
Dilihat dari jenis karangannya, naskah
sejarah hanyalah sekitar 9 persen dan naskah sastra sejarah 12 persen.
Sebagian besar lainnya, 25 persen berupa naskah sastra, dan naskah agama
15 persen. Sayang, walaupun jumlahnya banyak, baru sedikit sekali yang
diteliti. Eddi S. Ekadjati memperkirakan baru sekitar 100-125 judul saja
yang diteliti. Ini berarti, tantangan untuk para peneliti dalam
meneliti sejarah Sunda masih sangat besar.
Penelitian tersebut, menurut Edi S.
Ekajati, idealnya dilakukan dulu secara filologis karena ilmu yang
menggarap naskah itu ialah filologi. Baru kemudian hasil suntingan
filolog tersebut dijadikan obyek atau bahan studi ilmu-ilmu lain sesuai
dengan jenis isi naskahnya. Sulitnya, sangat sedikit filolog yang
tertarik terhadap naskah Sunda.
Belum lagi, lebih sedikit lagi yang bisa
membaca huruf Sunda Kuno — itupun sebagian diantaranya berasal dari
disiplin lain. Atja dan Saleh Danasasmita misalnya, keduanya sudah
meninggal. Sedangkan lainnya Ayatrohaedi dan Hasan Djafar (arkeologi)
lalu Kalsum dan Undang A Darsa. Edi S Ekadjati sebenarnya berlatar
belakang sejarah. Tetapi karena minatnya yang besar terhadap sejarah
Sunda, akhirnya mengharuskan ia mendalami filologi, sehingga dia
acapkali dijuluki “berada di dua perahu”. Dia mengakui, karena
terbatasnya filolog yang berminat, maka jika seseorang ingin mengetahui
sejarah Sunda maka ia harus berada “di dua perahu”.
SEJARAH Sunda sangat boleh jadi berbeda
dibanding sejarah etnis lain di Indonesia karena daerah ini tidak banyak
mewariskan peninggalan berupa prasasti atau candi, tetapi lebih banyak
berupa naskah yang kini tersimpan di museum atau tempat-tempat lainnya.
Di Perpustakaan Nasional saja misalnya, terdapat 89 naskah Sunda Kuno
sedangkan yang sudah dikerjakan barulah tujuh naskah.
Tetapi dari sedikit naskah itu, menurut
Edi S. Ekadjati, ternyata sudah memberikan sumbangan yang sangat besar
terhadap sejarah Sunda. Baik mengenai daftar raja yang memerintah dan
masa pemerintahannya serta peristiwa-peristiwa sekitar yang terjadi pada
saat itu, sehingga walaupun belum secara lengkap sudah bisa disusun
raja-raja Sunda yang memerintah selama kurang lebih 800 tahun. Yakni,
sejak Sanjaya yang memerintah pada abad ke-8 sampai Raja Sunda terakhir
pada tahun 1579. Bahkan dengan naskah Siksa Kanda Ng Karesian yang
ditulis pada masa Sri Baduga Maharaja, diketahui beberapa aspek
kebudayaan Sunda saat itu. Sri Baduga Maharaja,dalam cerita rakyat
diidentikkan dengan Prabu Siliwangi.
Jalan untuk menyingkap tabir sejarah
Sunda masih panjang. Di Perpustakaan Nasional saja, masih 82 naskah lagi
yang belum digarap. Walau demikian, Edi S Ekadjati optimis, suatu saat
sejarah Sunda bisa disusun lebih lengkap dan jelas. Salah satu
harapannya diletakkan pada jerih payah Ali Sastramidjaja atau Abah Ali,
seorang peminat sejarah Sunda, yang kini sedang menggarap naskah Ciburuy
bersama teman-temannya.
B. Sejarah Pasundan mulai terkuak
Prasasti koleksi Museum Adam Malik
Jakarta, ikut memperkuat dugaan adanya kesinambungan Kerajaan Pasundan
dengan Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Bahkan bila dikaitkan
dengan temuan-temuan prasasti di Jawa Barat termasuk temuan tahun 90-an,
prasasti ini ikut memberi titik terang sejarah klasik di Tanah Pasundan
yang selama ini masih gelap.
Kepala Bidang Arkeologi Klasik pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Dr Endang Sri Hadiati
didampingi peneliti arkeologi spesialis Sunda, Richadiana Kartakusuma
SU, mengemukakan itu saat ditemui Kompas di ruang kerjanya di Jakarta,
Senin (20/2). Keduanya ditemui dalam kaitan dengan Sejarah Klasik Sunda
yang selama ini masih gelap, bila dibanding dengan sejarah klasik di
Jawa Tengah, yang telah mampu memberikan sejarah lebih runtut.
Bila benar dugaan adanya kesinambungan
antara Raja Sunda dan Jawa Tengah ini, maka ini merupakan asumsi sejarah
baru dalam perkembangan sejarah nasional selama ini. Endang Sri Hadiati
menyatakan, kesinambungan atau adanya dugaan hubungan antara Kerajaan
Pasundandan kerajaan di Jawa Tengah itu disebut-sebut dalam lontar
Carita Parahiyangan yang ditemukan Ciamis, Jawa Barat.
Lontar yang ditemukan tahun 1962 ini
mengisahkan tentang raja-raja Tanah Galuh Jawa Barat. Salah satu lontar
dari Carita Parahiyangan yang belum diketahui angka tahunnya itu di
antaranya menyebut nama Sanjaya sebagai pencetus generasi baru yang
dikenal dengan Dewa Raja.
Apa yang disebut dalam Carita
Parahiyangan, menurut Richadiana, ada kesamaan makna dengan prasasti
yang ditemukan di Gunung Wukir, yang berada di antara daerah Sleman dan
Magelang (Jawa Tengah). Prasasti batu abad VII yang kemudian disebut
sebagai Prasasti Canggal itu secara jelas menyebut, bahwa di wilayah itu
telah berdiri wangsa atau kerajaan baru dengan Sanjaya nama rajanya,
atau dikenal kemudian sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
“Saya belum berani memastikan adanya
kesinambungan Raja Sunda dan Jawa. Yang pasti, Carita Parihiyangan yang
berisi tentang cerita raja-raja Galuh itu, salah satunya menyebut nama
Sanjaya yang membuat kerajaan baru, dan itu sama persis yang disebutkan
dalam prasasti Canggal di Jawa Tengah,” tegas Richadiana.
Menurut Richadiana, dugaan itu diperkuat
pula dengan prasasti yang dikoleksi oleh Adam Malik (almarhum), yang
dikenal dengan prasasti Sragen (ditemukan di Sragen Jateng). Richadiana
tidak tahu persis kapan prasasti itu dikoleksi Adam Malik. Yang pasti,
prasasti itu isinya juga bisa menjadi fakta adanya dugaan kesinambungan
antara Kerajaan Pasundan dan Jawa.
Dua abad hilang
Endang Sri Hadiati dan Richadiana
mengakui, sejarah Pasundan memang masih gelap, artinya belum mempunyai
alur sejarah yang mendekati pasti. “Tonggak sejarah klasik Jawa Barat
hanya pada 6 buah prasasti Raja Tarumanegara sekitar abad V. Temuan
prasati lain tidak mendukung adanya kelanjutan sejarah, karena selisih
waktunya berabad-abad,” tandasnya.
Namun begitu, jika dicermati dan
dikaitkan dengan temuan tahun 90-an ini, sebenarnya hanya rentang waktu
dua abad saja sejarah Klasik Sunda yang hilang, bila dihitung sejak Raja
Tarumanegara, yaitu antara abad ke V – VII. Richadiana mengatakan,
setelah abad Raja Tarumanegara V sampai abad ke VII memang tidak
ditemukan prasasti. Namun lontar Carita Parahiyangan mengisahkan adanya
kehidupan raja-raja di Tanah Galuh pada abad VII, disusul kemudian
adanya temuan prasasti abad VIII Juru Pangambat. Prasasti ini ditemukan
di seputar prasasti Tarumanegara, yang mengisahkan tentang adanya
seorang pejabat tinggi yang bernama Rakai Juru Pangambat.
Menurut Richadiana, prasasti Huludayueh
yang ditemukan di Cirebon tahun 1990 mengisahkan bahwa antara abad 10
sampai 12 hidup seorang Raja bernama Pakuan. Sebelum itu ditemukan
prasasti di Tasikmalaya yang dikenal dengan prasasti Rumatak. Prasasti
berangka tahun 1.030 ini mengisahkan bahwa pada masa itu hidup seorang
Raja Jaya Bupati.
“Sebenarnya kalau kita runut
prasasti-prasasti itu sudah mengindikasikan adanya urutan sejarah klasik
Sunda. Tidak ada peminat yang mempelajari sejarah klasik orang Sunda,
selain orang Sunda sendiri. Itu yang menyebabkan sejarah Sunda seperti
merana,”tegasnya.
PENJELASAN PRASASTI HULU DAYEUH
Sejarah Jawa Barat hingga kini memang
masih agak gelap, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di
Nusantara. Oleh karena itu setiap temuan arkeologi dari Jawa Barat
senantiasa mengundang perhatian dan rasa penasaran para pakar kebudayaan
yang menggumuli masalah sejarah Sunda (Jawa Barat).
Untuk itu dikemukakan beberapa hal yang
berkenaan dengan Prasasti Hulu Dayeuy. Prasasti Hulu Dayeuh tersebut
bukan berasal dari (Predu) Ratudewata, tetapi kemungkinan ada
hubungannya dengan Jayadewata (Raja Pakwan-Pajajaran abad ke-15 Masehi).
Raja ini sama dengan SriBaduga Maharaja atau Raden pamanah Rasa alias
Sang Udubasu di dalam Carita Parahiyangan, sesuai dengan yang disebutkan
dalam rasasti Hulu Dayeuh itu sendiri (baris ke-11). Tetapi belum
berarti bahwa prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja Jayadewata.
Perlu kiranya diketahui bahwa Jayadewata
tidak sama dengan Ratudewata. Kedua raja ini memerintah di
Pakwan-Pajajaran tetapi personilnya berbeda. Bila Jayadewata memerintah
pada tahun 1482-1521 Masehi (39 tahun) maka (Prebu) Ratudewata memegang
tampuk Pakwan-Pajajaran tahun 1535-1543 Masehi (8 tahun).
Bagian atas batu yang diduga mencantumkan
pertanggalan prasasti tesebut patah, dan aksaranya pun turut hilang
serta sebagian lagi ada yang akur, sehingga kronologi prasasti belum
dapat diketahui dengan pasti. Keausan aksara itu mungkin karena semula
letak batu prasastinya terbalik dengan posisi bagian atas tertanam dalam
tanah, namun kini batu tesebut telah diletakkan sebagaimana mestinya.
Bentuk hurufnya diketahui beraksasa Pasca
Pallava, mirip dengan aksara dalam prasasti-prasasti masa
Kayuwangi-Balitung (abad ke 9-10 Masehi), bukan Kayuwanci-Belitung
seperti berita terdahulu. Demikianlah ralat ini, dan sama sekali tidak
dimaksudkan menyinggung perasaan hanya sekadar membenarkan apa yang
mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, dalam
menginterpretasikan sejarah Jawa Barat, khususnya yang berkaitan dengan
Prasasti Hulu Dayeuh.
Dalam hal ini saya merasa
bertanggungjawab karena saya yang mengatakan keterangan di atas secara
lisan kepada Bapak Muchtar MS ketika mengadakan penelitian arkeologi di
daerah Sumber, Cirebon. thanks for reads....share ye...salam jeha